Kamis, 13 Oktober 2011

file:///F:/piano.exe

resensi


PULANG

Pada mulanya, TOHA MOHTAR banyak menulis cerpen dalam berbagai majalah hiburan. Laki-laki kelahiran 17 September 1926 ini, tiba-tiba mengejutkan dunia sastra dengan buku romannya yang berjudul Pulang. Dalam novel ini, Ia menceritakan tentang seorang pemuda yang pulang ke tanah kelahirannya dengan membawa kebahagiaan bagi Ayah, Ibu, dan Adiknya yang telah lama merindukan kepulangannya, tetapi sangat menakutkan baginya untuk bertemu dengan masyarakat di desanya itu.
Awal cerita, seorang wanita tua terkejut mengangkat muka, melihat dengan mendadak hadirnya seorang anak muda tak jauh darinya dalam keremangan senja. Keningnya yang telah keriputan tertarik ke bawah, matanya yang kecil sejuk memandang penuh tanya yang kemudian di iringi dengan tetesan air mata. Dia terkejut melihat seorang pemuda yang bertubuh tinggi-besar yaitu anak laki-lakinya yang telah 7 tahun pergi meninggalkannya untuk menjadi heiho. Namanya Tamin.
Walaupun sudah bertahun-tahun pergi, Tamin begitu heran melihat desanya yang masih seperti dulu kecuali sawah yang telah di jual untuk biaya berobat Ayahnya. Dengan menjual sebuah perhiasan milik Istrinya, Tamin bisa mendapatkan kembali sawah Ayahnya itu. Ketika telah sampai di rumah, Tamin menceritakan pengalamannya selama menjadi heiho meskipun dengan terpaksa. Tetapi satu cerita yang tidak ia ceritakan kepada Bapak dan Adiknya bahwa ia telah menikah dan mempunyai anak. Tetapi Istri dan anaknya itu meninggal di rumah bersalin sebelum ia memberi pelukan terakhir kepada Istrinya dan melihat bayi laki-lakinya itu. Hanya perhiasan yang telah di jualnya itu yang ditinggalkan oleh Istrinya. Istrinya adalah anak seorang petani kenalannya saat menjadi heiho. Tamin hanya menceritakan masalah ini kepada Ibunya seorang. Bukan saja Tamin yang bercerita, tetapi juga Ibunya. Ibunya menceritakan bahwa Gamik, teman sepermainan Tamin, telah ditemukan meninggal keesokan harinya di pinggir pematang sawah dengan tubuh yang robek-robek oleh peluru setelah malam harinya ia dan teman-temannya melakukan perlawanan terhadap serdadu-serdadu Belanda.

Pada suatu malam, Tamin di undang untuk menghadiri acara demi mengingat peristiwa kematian Gamik oleh masyarakat desa. Di sana, orang-orang bergilir menceritakan pengalaman masing-masing saat bertempur melawan tentara Belanda. Tamin pun kaget ketika salah satu kawannya menyuruhnya untuk menceritakan pengalamannya selama menjadi heiho. Tamin gugup dan takut. Tetapi karena terus didesak, ia akhirnya terpaksa berbohong. Dengan suara yang terputus-putus, ia menceritakan peristiwa yang tidak pernah ia alami. Ia mencari cerita-cerita yang masuk akal supaya tidak dicurigai. Dia tidak mungkin akan menceritakan pengalaman yang sebenarnya karena saat menjadi heiho di Burma, ia bertempur di samping Belanda untuk menghabiskan sisa-sisa kependudukan Jepang. Jepang dengan system Romusha sudah sangat menyiksa rakyat Burma. Tamin menghabiskan sisa-sisa kependudukan Jepang dengan mengejar para perampok dan kelompok-kelompok lainnya yang tidak mau menyerah kepada sekutu. Tetapi betapa menyesalnya ia setelah tahu kalau perampok yang dikejar-kejarnya itu adalah orang seperti Gamik dan kawan lain seperti di desanya. Karena dia terus berbohong,  dia menjadi tidak tenang dan selalu merasa di curigai. Sikapnya berubah dan aneh. Lama-kelamaan dia berpikir untuk pergi jauh dari desa dan meninggalkan Ibu, Adiknya, juga Ayahnya yang sudah tua dan sakit-sakitan. Sungguh malang nasibnya. Dia meninggalkan keluarga yang sangat dicinta dan mencintainya hanya karena rasa takut yang tidak jelas.
Empat bulan telah berlalu. Meskipun begitu, ia masih bisa membayangkan pandangan Ibunya, senyum Adiknya, dan suara batuk-batuk Ayahnya yang selalu mengikuti setiap langkah perjalanannya.




Pagi-pagi benar ketika ia tengah duduk di tempat persembunyian, ia melihat seorang yang telah tua berhenti dihadapannya. Ia kenal orang itu, Namanya Pak Banji. Dia adalah

Ayah Gamik. Tamin masih tak menyangka bahwa dalam pengembaraannya yang begitu jauh, ia akan dapat bertemu dengan salah seorang dari desanya. Tak ada tawa panjang yang dia dengar pada kebiasaan pertemuan mendadak semacam itu, melainkan mata orang itu terbuka lebar, dan hanya bibirnya saja yang bergerak, dan itu pun tampak ragu-ragu. Dia datang menemui Tamin, hanya mengabarkan bahwa Ayahnya sudah meninggal. Tamin tidak pernah membayangkan akan datangnya peristiwa semacam itu. Empat bulan, alangkah banyaknya yang telah terjadi. Pak Banji menyuruh agar Tamin segera pulang. Tetapi Tamin masih tidak mau pulang. Akhirnya Pak Banji menceritakan bahwa ketika musim memotong padi telah tiba dan Ayahnya sakit, seluruh penduduk desa telah menolong memotong padinya tanpa memungut upah sedikit pun. Tamin pun terharu. Perasaan takutnya berkurang karena ternyata penduduk desa tidak pernah mencurigainya tentang pengalamannya sejak menjadi heiho dulu. Dia kemudian pulang bersama Pak Banji untuk melihat makam Ayahnya.
Lama ia berdiri menghadap makam Ayahnya. Nisan kayu jati yang masih baru itu di tanam di samping kubur neneknya. Tanah penimbun belum kembali seperti semula, kayu kamboja belum panjang bersemi. Ia tak hendak menangis, ia ingin dapat menahan air matanya betapa pun rasa terharu menggoncangkan hatinya. Kini yang dicintai telah di tanam, tetapi bayangan Ayahnya seperti jelas dihadapannya. Ia jadi ingat seluruhnya seperti dapat mendengar lagi batuk-batuk Ayahnya dan kata-kata yang selalu diingatkan kepadanya, ”Tanah ini adalah yang terbaik di seluruh desa, lantaran di batasi oleh kali yag tidak pernah kering sepanjang musim. Cintailah ini seperti juga nenekmu mengajari aku. Gantungkan pengharapan hidupmu di sini dan bila datang masanya engkau memegang sendiri, jangan engkau lepaskan kelak meski sejengkal. Engkau harus tahu, bahwa janji hidup dari keturunanmu terletak dalam tanah ini pula, seperti juga ia telah menghidupi nenek moyang kita. Ini adalah pusaka.” Tamin meneteskan air mata dan berjanji bahwa ia akan melakukan apa yang telah di minta Ayahnya itu dan yang utamanya adalah agar selalu menjaga Adik dan Ibunya.







Bayang Ketakutan dalam Penghianatan

Dalam novel ini, pengarang dapat menceritakan tentang keadaan tokoh-tokoh dalam ceritanya secara meyakinkan. Sifat-sifat pelakunya bisa kita bayangkan sendiri ketika membacanya karena pengarang seperti peka melukiskan dengan halus dan teliti setiap konflik psikologis para tokoh-tokohnya. Penggambaran tokoh-tokohnya seperti sebuah fakta.
Gaya bahasa yang di ambil oleh novelis yang satu ini sangat sederhana saja sehingga roman ‘Pulang’ terasa amat jernih, bening, dan liris. TOHA MOHTAR menggambarkan seorang pemuda yang menjadi heiho dan dibawa ke negeri Burma untuk membersihkan sisa-sisa kependudukan Jepang disana.Tetapi dia malah bertempur untuk itu di samping serdadu Belanda yang walaupun hal itu dilakukan untuk menyelamatkan Burma dari Jepang, tetap saja di anggap ‘Penghianatan’. Pemuda itu masih beruntung karena hal itu tidak di ketahui oleh masyarakat di desanya. Ketika pulang ke desanya, dia malah menjadi ketakutan setelah apa yang sudah di lakukan selama menjadi heiho 7 tahun lamanya. Pemuda itu selalu gelisah, resah, merasa selalu di curigai oleh masyarakat di desanya. Dia selalu berkata,” mereka tidak akan pernah mengerti tentang aku dan serdadu-serdadu itu”. Karena ‘ketakutan’ terus menghantuinya dan selalu menjadi ‘bayang’ di dalam hidupnya, dia akhirnya pergi meninggalkan keluarganya hingga dia pulang setelah Ayahnya sudah di tanam.
Cerita dalam novel ini di sajikan dengan kesan yang begitu sederhana, faktual, objektif, logis dan dapat diterima karena setiap alurnya dirangkai dengan ketelitian dan kepekaan pengarang. Tetapi jika dilihat dari segi fisik buku, tentu ada kelebihan dan kekurangannya. Kekurangan daku ini, seperti: tidak adanya pencantuman tentang harga buku, berapa tebal buku, gambar sampul bersifat abstrak dan kadang kala kata-kata yang di gunakan untuk mengungkapkan sebuah pendeskripsian tempat sekiranya ada kesamaan dengan sebuah novel lain.
Buku,  memiliki kekurangan dan kelebihan tersendiri. Tidak mungkin semua buku itu selalu sempurna. Jadi sudah seharusnya kita membaca salah satu karya Toha Mohtar ini. Mungkin setelah membaca dan memahami isi buku ini kita bisa tergugah untuk menjadi sosok seorang pahlawan yang walaupun hanya untuk masalah yang sangat kecil sekalipun sekaligus dapat menambah wawasan kita. We’re  Next Generation. So ladies and Gentleman we must keep our country, we must be in one unit although we’re different, we must understand each other. If everybody in this country can do it, we’ll live happily and peacefully.

SELAMAT DATANG ANAK INDONESIA

Kalian bisa membaca artikel yang bermanfaat disini
 

aku adalah anak indonesia Copyright © 2010 | Designed by: Compartidisimo